6 Wawasan yang Saya Dapatkan sebagai UX Writer Lead di Tahun Pertama di Flip (Bagian Satu)

Himawan Pradipta
11 min readDec 12, 2022

Artikel dua-bagian ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris.

Di akhir 2021, saya baru saja lulus dari perusahaan teknologi tempat saya bekerja selama dua tahun. Saya sangat bersyukur hanya karena bekerja di sana. Orang-orangnya keren. Hidup-kerjanya seimbang. Gajinya mantap. Mimpi deh pokoknya. Tapi, saya juga sedih karena membuat banyak kesalahan sebelum pergi. Kesalahan soal copy. Soal komunikasi. Soal kolaborasi. Ya, kesalahan pemula lah.

Tapi kesalahan itu mulai mempola sampai saya bertanya: Emang sesusah ini ya jadi UX writer? Sesulit ini ya untuk memenuhi ekspektasi perusahaan? Atau, bahkan, saya cocok gak ya di pekerjaan ini?

Pikiran ini terus muncul, menghancurkan banyak hal, bahkan rasa percaya diri saya. Kadang-kadang pikiran itu muncul sebagai mimpi buruk. Dan saya gamang apakah akan bekerja di bidang yang sama lagi atau tidak. Simpelnya, saya sudah gagal.

Pada saat yang sama, saya penuh pengharapan. Saya cukup sering diundang ke webinar, berbicara tentang UX writing — tugasnya apa, bedanya dengan kepenulisan lain apa, dan gimana caranya dapat kerja di bidang UX. Agak ironis, kalau dilihat-lihat sekarang. Agak lucu juga.

Senang membayangkan saya sering berbagi seputar UX writing. Yang lebih menyenangkan lagi apa yang terjadi setelah webinarnya. Orang-orang yang hadir ke webinar bilang ke saya: Mereka jadi lebih jago di pekerjaannya. Jabatannya naik. Atau dapet posisi magang sebagai UX writer di perusahaan kece. Semuanya karena pelajaran yang mereka dapatkan dari webinarnya. Hati saya terbesarkan.

Jadi, di kepala saya: “Huf. Ternyata saya gak gagal-gagal banget ya.”

Sebagai hasilnya, pertarungan konstan antara Dunning Kruger dan Impostor Syndrome ini membuat saya bertanya-tanya tentang kapabilitasku sebagai UX Writer. Ini kerjaan cocok buat saya gak sih? “Apa balik aja ya jadi blogger,” otak pesimisku mulai berisik, “atau guru Bahasa Inggris deh, kayak dulu kuliah. Setidaknya itu bidang yang saya tau saya jago.”

Tapi alih-alih terus sedih, saya coba buka mata. Saya masih mau tetap belajar dan bantu lebih banyak orang belajar bareng. Jadi saya terus berlatih. Kasih latihan nulis di kelas UX Writing Satnight Camp (@uxwsatnightcamp). Kasih umpan balik untuk mereka, dan sebaliknya. Pelan-pelan, rasa percaya diri muncul lagi.

Suatu hari, sebuah notifikasi lowongan pekerjaan muncul di layarku.

Katanya “UX Writer” dengan persyaratan level menengah ke senior. Baru membaca setengah daftar tugasnya, saya berpikir: “OK.” Ini pernah saya lakukan sebelumnya. Tidak masalah.

Tapi semakin menggulir untuk melihat daftar lengkapnya, saya mulai merasa tidak kukuh. Ngeri bahkan. Rentetan pikiran yang jahat itu datang lagi.

Di sana lah saya duduk, di sebuah wawancara kerja seminggu kemudian. Tim HR-nya bertanya: “Jadi, Himawan. Ceritain dong pencapaianmu di perusahaan sebelumnya. Apa yang kamu banggakan sejauh ini?”

Ini poin penentuku.

“Saya. Gaboleh. Salah. Ngomong.” Saya bicara ke diri sendiri.

Saya tarik napas dalam-dalam, dan sembari melihat bayanganku sendiri di layar, saya ingat tatapan jauh dan asing yang saya lihat seminggu sebelumnya. Di sana, saya melihat orang yang selalu menyalahkan dunia, bukan dirinya sendiri. Yang terlalu lembek untuk berkata: “Saya tidak tahu.” Yang diam-diam menggumam: “Buang muka aja. Lebih gampang. Selalu gitu, kan?”

Saya tahu pertarungan di dalam pikiran ini akan berujung lagi-lagi ke hilangnya rasa percaya diri. Jadi, di titik ini, saya memilih hati saya.

Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan kerapuhan yang hati-hati. Tidak terlalu sombong, tapi tidak terlalu rendah diri juga. Rasa takut dan khawatir itu sudah saya rawat, sehingga saya berani mengatakan, “Saya pernah salah juga kok.”

Dua minggu kemudian, sayangnya, saya diberitahu saya tidak lolos.

Saya malah ditawarkan posisi leadership.

Pengalaman ini mengajarkan saya: Menjadi rapuh, bahkan di momen yang seharusnya bisa bersinar seperti wawancara pekerjaan itu, itu tidak apa. Memamerkan pencapaian bukan selalu berarti saya menang. Saya percaya bahwa saya bisa bersinar karena sudah tahu bagaimana rasanya berada di dalam kegelapan. Jadi di waktu yang tepat, saya bisa menghargai cahaya dengan lebih baik karena sudah mengalami ketiadaannya.

Sekarang, dengan rendah hati saya mengatakan bulan Desember 2022 ini, saya menjadi UX writer lead di tahun pertama di kantor saat ini, Flip. Tentu saja, perjalananku hingga saat ini tidak selalu mulus. Ada naik dan turun. Banyak kesalahan yang saya buat. Namun, kali ini, saya merasa lebih bebas. Saya bahkan senang saat membuat kesalahan. Karena saya tahu saya akan lebih banyak belajar sebagai hadiahnya.

Selama delapan bulan pertama, saya sendirian. Menjadi kontributor individual di kantor sebelumnya sudah jadi makanan sehari-hari. Tapi menjadi manajer, dan tidak punya anggota tim? Yang bener nih?

Mentorku satu-satunya adalah The Making of Manager karya Julie Zhuo. Di bukunya, ia menggagas istilah “Rookie Manager.” Seorang manajer yang ditempatkan di sebuah tim yang juga baru. Poin plusnya adalah manajer ini bisa membuat kultur kerja mereka sendiri, dan ruang kemungkinannya luas. Minusnya, di proses itu, manajer baru ini bisa merasa kesepian.

Empat bulan sebelum Desember, seorang writer baru masuk. Saya mikir: “Asyik! Tiba juga waktunya saya melatih kemampuan manajerialku.” Saya senang banget hanya dengan melihat poster lowongan kerja “UX Writer di Flip.” Senang melihat saya akan beranjak setelah ini. Dan pada saat itu, saya sudah membaca lebih banyak bagian dari buku Julie. Jadi, saya merasa siap secara teori.

Tetapi, kenyataannya menampar saya. Tantangannya ternyata dua kali lebih besar. Dan saya tidak siap untuk menghadapi perjalanan yang menakutkan ini untuk kedua kalinya.

Jadi, dalam satu tahun yang menyakitkan namun mendidik ini, saya ingin berbagi tentang 6 wawasan teratas yang saya temukan selama menjadi UX writer lead di Flip. Saya membagi artikel ini menjadi dua. Yang pertama sebelum tim writer terbentuk. Yang kedua setelahnya.

Ini yang pertama.

“Siapa yang bersusah-susah dalam diam akan dipermudah dalam kesulitan.” — Norman Schwarzkopf

Di 90 hari pertamaku di Flip, ada 2 (dua) tugas yang mengajarkanku tentang ketekunan. Untuk tidak banyak mengeluh saat momen sendirian. Dan yang lebih penting, untuk bersabar.

Keduanya adalah:

  • Meningkatkan workflow proses desain yang sudah ada; dan
  • Membuat panduan menulis yang komprehensif.

Awalnya, agak menaktukan saat membacanya pertama kali, tapi saya percaya “tabula rasa.” Saya mengosongkan gelas. Mengenakan topi siap-gagal. Menjadi murid baru lagi.

Saya punya bayangan masing-masing ini hasilnya akan seperti apa, tapi saya tidak tahu langkah menuju ke sana. Mirip seperti bertualang. Di mana saya harus menyelesaikan sebuah misi dan harus pergi ke atas pegunungan. Saya akan ketemu siapa aja ya? Ada monster gak ya? Butuh kuda apa enggak? Gimana caranya?

Wawasan 1: Saat mencapai tujuan, berpikir mundur.

OK. Ini dia. PR pertama. Meningkatkan workflow desain. Apa maksudnya ya? Saya bertanya ke diri sendiri. Ini bermula dari sebuah ide untuk mengembangkan tim writer di masa depan. Masalahnya adalah tidak ada yang tahu bagaimana cara memasukkan writer ke dalam flow yang sudah ada. Dengan kata lain, tidak ada tempat untuk proses copywriting. Lebih dari sering, copy dilihat sebagai remah-remah desain saja. Sebagai hasilnya, tugas copy diberikan di ujung proses desain.

Ini juga berarti bahwa proses menulisnya jadi tidak bisa dikerjakan dengan baik. Sering terburu-buru dan tidak diriset dengan layak. Asumsi saya waktu itu adalah tim lain tidak menyadari bahwa writer juga butuh waktu mereka untuk menggali konteks.

Asumsi ini kemudian berakar dari satu hal. Kurang pemahaman terhadap tugas satu sama lain. Setiap tim sepertinya sangat fokus dengan kerjaan mereka sendiri, sampai lupa bahwa tim lainnya dibuat kesusahan juga. Atau terlalu fokus ke “lini masa” mereka sendiri, tidak mau tahu bahwa ada orang lain yang sedang menunggu.

Nah! Itu dia misi saya: Menciptakan transparansi.

Dari situ, tujuan saya berubah. Bukan hanya untuk memperbaiki workflow, tapi mengisi celah pemahaman antartim dulu.

Kalau berpikir mundur, untuk membuat transparansi, saya harus membuat sistem atau aturan. Sistem ini akan membantu saya dan tim lain saat meminta copy. Begitu juga menentukan berapa banyak sesi revisi dan tenggat waktu.

Untuk melakukan itu, saya perlu tau dulu apa masalah bersama di dalam tim. Isu apa yang mereka temukan saat mengerjakan copy? Dari isu tersebut, pendekatan seperti apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kolaborasi secara umum?

Untuk mendapatkan titik temu, saya butuh mendapatkan wawasan. Saya memilih 3 orang yang paling dekat bekerja dengan writer. Dan mengatur kalender 45 menit untuk wawancara, dan membuat catatan.

Cara berpikir seperti ini pada akhirnya membantu saya merunut langkah-langkah secara bertahap. Ini menghindari saya dari memasukkan langkah yang bisa jadi tidak dibutuhkan atau tidak relevan.

Apa yang bisa saya lakukan secara berbeda?

Evaluasi tiap langkahnya secara reguler. Saya kira mengatur tujuan akhir dan langkah-langkahnya sudah cukup. Ternyata tidak. Tugas lain yang harusnya dilakukan adalah melacak apakah ini sesuai jalur atau keluar jalur. Ke depannya, saya harus melakukan ink thinking dengan menulis apa yang akan terjadi dan yang benar-benar terjadi. Kurang lebih mirip seperti menulis diari. Jadi saya bisa menilai hipotesis sendiri dan melihat apakah itu sama atau tidak dengan kenyataannya.

Wawasan 2: Membuat panduan menulis melelahkan, tapi sangat terbayar!

Tugasku yang lain adalah membuat dasar bagaimana writer harus bekerja di perusahaan. Semua nama produk, format, tanda baca, kapitalisasi — tau lah ya. Itu semua perlu diatur, kalau tidak writer ke depannya akan tidak habis-habisnya berdebat satu sama lain. Antara “enggak” dan “tidak.” Atau “kamu” dan Anda.”

Seperti aplikasi lain tanpa panduan, banyak copy yang tidak konsisten. Baik di aplikasi, atau mobile, maupun di versi desktop. Satu layar UI menggunakan “Daftar,” tapi layar lain “Registrasi.” Satu menggunakan “Batalkan,” yang lain “Tolak.” Satu “Ya,” yang lain “Konfirmasi.”

Pedih mengetahuinya.

Idealnya, ini butuh audit copy. Tapi, itu butuh setidaknya 6 bulan untuk mengimplementasikan revisinya dengan cakupan copy saat itu. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa meninggalkan skala prioritas untuk project yang sedang berjalan pada saat itu. Belum lagi ada design sprint.

Sebagai gantinya, saya mengobrol ke tim pemasaran untuk mencari tahu apakah kami sudah punya panduan komunikasi ke user. Dan ternyata ada. Tetapi, itu hanya dibuat untuk tujuan pemasaran seperti surel, push notification, dan pesan-pesan promosional.

Akhirnya, saya membuka Google Sheet. Saya menatap ke deretan kotak-kotak kosong selama kurang lebih satu menit. Tidak benar-benar yakin apa yang saya lakukan. Tapi saya sadar harus mulai sesuatu. Ayo dong, otak. Jalan kek! Saya mulai tidak sabar.

“Rahasia untuk maju adalah dengan memulai,” Mark Twain mengingatkan.

Akhirnya, saya membuat tab “Daftar Kata.” Di dalamnya, ada 2 kolom: “Indonesian” dan “English.” Lalu, saya mulai menulis kata-kata yang sudah pernah saya temui di project sebelumnya. Satu kata ke kata lainnya. Satu frasa ke frasa lainnya. Hingga kasarnya terlihat seperti ini:

Mohon catat bahwa contoh di tabel di atas hanya ilustrasi.

Saya tambahkan lebih banyak kata, frasa, dan aturan.

Beberapa hari ke depan… semua orang kebingungan. *ketawa diam-diam*

Semakin banyak hal yang tidak konsisten. Semakin banyak orang yang bertanya, pakai kata baru di panduan atau pakai kata yang sudah dipakai. Karena ada desain yang sudah dirilis dengan kata-kata yang kolom “tidak boleh dipakai” atau silang (X). Ya, tapi, perubahan butuh waktu, kan? Jadi saya membantu tim dengan memahamkan mereka untuk mengambil langkah kecil dulu. Mungkin bisa jadi sulit atau membingungkan. Tapi setidaknya kami menyimpan banyak waktu berpikir di masa depan.

Dan benar saja. Semakin banyak orang bingung, semakin banyak salah. Tapi positifnya, kami jadi punya aturan baru! Panduannya jadi lebih kuat.

Sebagai hasilnya, tim desain jadi lebih pede untuk menulis copy placeholder. Dan di tahap review, pekerjaan saya sudah setengah jalan selesai.

Apa yang bisa saya lakukan secara berbeda?

  • Pahami bahwa ini adalah dokumen yang terus hidup. Saya sempat berpikir bahwa membuat panduan copy adalah upaya satu waktu. Ya, iya sih di satu titik, apalagi saat mengatur sesuatu yang lebih ajeg seperti format. Kapan harus menebalkan kata, memiringkan, atau menggarisbawahi, dan lainnya. Tapi ketika mengatur daftar kata, sifatnya selalu fleksibel. Apa yang sudah diatur sebelumnya bisa selalu berubah bergantung pada konteks dan situasi kata tersebut digunakan.
  • Tes copy lebih sering. Meskipun menguras tenaga, mengetes copy adalah pendekatan yang bijak untuk mendapatkan wawasan yang kaya. Tidak ada yang lebih membebaskan bagi saya dibandingkan membaca tanggapan partisipan, mencari titik perseteruan, dan melakukan sintesis. Mengetes copy menghemat waktu untuk jangka panjang, kalau-kalau ada copy serupa di masa depan. Ketika sudah ada hasil copy-nya, tidak perlu lagi menulis dari awal atau melakukan sesi brainstorming yang bisa jadi tidak perlu.

Wawasan 3: Berelasi (atau membuat sekutu) itu penting

Jangan kabur dulu, para introvert. Saya belajar bahwa mengobrol dengan orang adalah salah satu tanggung jawab manajer. Dan saya tidak siap untuk itu. Berkat Julie Zhuo, melalui buku The Making of Manager, ia mengajak pembaca untuk bertanya: Suka ngobrol sama orang enggak? Kalau jawabannya tidak, bisa jadi peran manajer bukan untukmu.

Sebagai UX writer satu-satunya, waktu itu saya dibutuhkan oleh banyak tim. Produk, pemasaran, engineer, bisnis, operasional, dan kadang-kadang data. Sekarang masih juga sih. Tapi saya tidak kepikiran untuk berelasi, sampai saya sadar: Saya tidak benar-benar kenal dengan orang-orang di luar tim desain. Dan sebaliknya.

Saya hanya tahu nama-nama mereka, tidak pernah ngobrol langsung berdua. Saya kemudian berpikir “Oh mungkin ini cara orang-orang kerja di sini ya.” Yang bisa jadi hanyalah pembenaran dari “Saya hanya mau kerja sendiri dan beresin kerjaan.” Namun, untungnya saya cepat sadar bahwa cara berpikir itu harus berubah.

Jadi, saya pasang target untuk ngobrol dengan 3 engineer dalam 1 minggu. Kenapa engineer? Karena mereka sering kerja bareng, tapi jarang ngobrol. Saya melakukan itu selama sebulan. Saya membuat template yang terdiri atas pertanyaan:

Mengejutkannya, ada pola dalam tanggapan mereka. Mereka berpikir bahwa di tahap development (saat desain sudah di tahap koding), mereka berasumsi writer terlalu sibuk. Sehingga meminta untuk review copy akan menambah beban mereka sebagai writer. Jadi, mereka menulis copy sendiri. Kayak, hah? Gue dibayar jadi writer kan emang untuk nulis, cuy! *nyengir*

Meski kedengarannya gila, saya hanya mendengarkan dan mencatat. Dan semakin saya mendengarkan, semakin terlihat jelas jalan ke depan. Mata saya terbuka lebih lebar.

Yang saya lakukan kemudian adalah membuat kanal komunikasi khusus. Setiap permintaan copy dari siapa pun di kantor harus membuat tiket dulu. Kalau tidak, tidak akan dikerjakan. Saya juga membuat prosedur meminta copy dan kapan bisa merundingkan tenggat. Dengan begini, karyawan internal jadi sadar dengan beban kerja tim writer. Dan mereka jadi lebih tidak segan untuk meminta copy review.

Apa yang bisa saya lakukan secara berbeda?

Tulis catatan yang lebih baik dan terorganisir. Ketika mengobrol dengan engineers waktu itu, saya cenderung menulis apa yang diucapkan. Kata per kata. Bukan ide besarnya. Jadi, ini seperti membuat transkripsi dari ucapan mereka. Saya juga tidak melakukan sintesis atau mengelompokkan ide yang sama. Meskipun di akhirnya terlihat ada pola, saya kehilangan detail poin mereka. Jadi lain kali, setelah tiap kali ngobrol, saya akan melakukan sesi debrief selama 10 menit. Entah itu memahami poinnya, menghubungkan ide yang terpisah, atau mencari ide besarnya.

“Fokus ke jalannya, bukan pohonnya.” — Simon Sinek

Untuk menyimpulkan bagian pertama dari tulisan retro ini, saya mau mengajak kamu berski. Kamu melihat jauh. Ada tujuan untuk dicapai. Pohon untuk dihindari. Salju untuk dilewati. Kamu melihat putih. Hanya putih. Kamu bahkan tidak bisa membedakan napasmu sendiri dengan udara dingin dari hutan. Semua jadi satu.

Seseorang di belakang teriak: “Jalan!” dan kamu mulai meluncur. Kamu sempat hampir hilang keseimbangan, tapi stabil lagi. Beberapa meter ke depan, kamu mulai tidak sabar dan mempercepat luncuranmu. Tapi jalannya jadi lebih terjal. Kamu meluncur lebih cepat dan lebih cepat. Hilang keseimbangan lagi, dan kamu melihat pohon besar di depan, berpikir: “Aduh.” Lalu jatuh.

Saya pernah ada di situasi itu di tempat kerja, di mana saya tahu betul saya akan menabrak banyak pohon. Tapi saya hanya harus fokus ke jalannya, bukan ke pohonnya.

Saya tahu akan ada banyak kesalahan yang saya buat di masa depan. Tapi saya tidak pernah sesemangat ini. Di Bagian Dua, saya akan menceritakan kesalahan-kesalahanku saat tim writer sudah terbentuk.

Jangan ke mana-mana.

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.