Bukan lulusan sastra atau bahasa? Ini yang wajib kamu persiapkan untuk jadi UX writer

Himawan Pradipta
7 min readMar 7, 2021
Foto oleh Wes Hicks dari Unsplash

Meski digadang-gadang sebagai salah satu pekerjaan di bidang desain paling dicari di 2021, role UX Writer sendiri ternyata masih menimbulkan pertanyaan besar untuk teman-teman yang duduk di bangku kuliah.

Di satu sesi Instagram Live di awal Maret 2021, saya agak kaget dan dibuat senyum-senyum sendiri ketika mendengar pernyataan dari seorang mahasiswa komunikasi di UPN Veteran Jakarta.

Ia bilang:

“Temen-temenku di kampus sampai sekarang masih belum bisa relate loh kak antara yang mereka pelajari di kampus dan pekerjaan UX writer itu sendiri. Agak ngerasa insecure juga karena jurusan di kuliah bukan dari sastra atau bahasa.”

Saya pun jadi berpikir sendiri: Apakah masalah insecurity ini muncul gara-gara di kampus mereka tidak ada mata kuliah UX writing atau product copywriting?

Tapi pikiran itu akhirnya ditelan sendiri karena saya sendiri pun ketika kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unpad tidak pernah dapat mata kuliah kepenulisan UX.

Jadi, apa masalahnya di sini sebenarnya?

Saya pun menjawab: “Tapi temen-temen saya yang UX writer juga, ada beberapa yang latar belakang pendidikannya justru bukan dari sastra kok.”

Banyak dari mereka yang lulusan psikologi, hukum, dan hubungan internasional. Tapi kebanyakan psikologi.

Lalu, pertanyaannya: Jadi, kalau misalnya saya bukan lulusan sastra atau bahasa atau linguistik, saya masih bisa jadi UX writer kah?

Jawabannya: Tentu bisa.

Dengan catatan: Setidaknya, kamu harus punya tiga skill ini:

Tiga skill dasar yang harus dikuasai untuk menjadi seorang UX writer

Pelajari mesin-mesin penggerak bahasa

Mekanik bahasa ini artinya semua komponen penting yang membuat bahasa bisa dimengerti, tiga di antaranya termasuk gramatika (tata bahasa), stilistika (gaya), dan semantika (makna).

Sebagai langkah awal, kamu bisa belajar gramatika terlebih dahulu. Buku pertama yang saya pelajari tentang tata bahasa Inggris adalah Understanding Basic Grammar karya Betty Azar.

Setelah menguasai tata bahasa, silakan lanjut ke ilmu linguistik yang agak kompleks, seperti stilistika, analisis teks, semantika, psikolinguistik, dan seterusnya.

Komponen lain dalam mesin bahasa yang harus kamu perhatikan juga adalah tanda baca dan kata hubung. Apa perbedaan titik koma dan koma, misalnya?

Apa saja kata hubung yang menunjukkan kontras (“tapi,” “meskipun begitu,” “namun demikian,” “terlepas dari itu,”)?

Lalu, mungkin muncul pertanyaan lain: Belajar mesin bahasa mana dulu? Inggris atau Indonesia? (Role UX writer di Indonesia setidaknya mengerjakan dua bahasa sekaligus: Indonesia dan Inggris.)

Kalau saya pribadi lebih suka belajar bahasa Inggris terlebih dahulu. Baru Bahasa Indonesia.

Kenapa? Karena Bahasa Inggris lebih mudah saja. Bahasa Indonesia itu sedikit lebih rumit gramatikanya.

Malahan, saya lebih banyak belajar Bahasa Indonesia bukan dari textbook, melainkan dari koran dan majalah.

Dari membaca setiap hari, saya selalu menemukan kosakata baru dan kalimat yang disusun dengan gaya tertentu, dan di situlah sumber pengetahuannya.

Lalu, pertanyaan yang lebih intinya: Kenapa mesin bahasa penting untuk seorang UX writer?

Nama role-nya saja “writer,” tentu yang membuat kamu mahal atau punya nilai lebih dibandingkan role lainnya adalah pengetahuanmu yang luas tentang bidang ilmu kepenulisan itu sendiri, dan semua tulisan yang efektif akan punya performa yang baik kalau mesinnya juga ditangani dengan baik.

Tips tambahan belajar mekanik bahasa:

  • Pilih satu buku yang bagus dan belajar dari situ saja. Kalau tidak Betty Azar, kamu bisa coba mulai baca Cliffs yang edisi TOEFL. Kedua buku ini mengajarkan inti mekanik bahasa Inggris yang cukup komprehensif. Belajar dari video atau podcast? Bisa juga. Tapi, saya lebih rekomendasikan dari buku terlebih dahulu.
  • Belajar satu hal saja setiap hari. Hari ini fokus belajar present tense, besok baru pindah materi lain (future tense, misalnya). Tahan dirimu untuk ingin belajar banyak dalam satu hari karena otakmu akan menolak.
  • Latihan menulis sebanyak-banyaknya. Bingung mau menulis apa? Bisa mulai dengan hal favoritmu sekarang (buku, serial, musik, hobi) dan ceritakan kenapa kamu suka dengan hal tersebut.
  • Cari mentor dan minta mereka periksa tulisanmu. Ajak temanmu yang menurutmu punya kapasitas di bidang bahasa dan tunjukkan tulisanmu. Minta pendapat mereka apakah tulisanmu masuk akal atau tidak dan apakah tata bahasanya sudah baik.

Jadi orang lain sebentar saja

Seringkali ketika menulis untuk aplikasi, saya terjebak ke dalam pemikiran bahwa asalkan informasi yang harus disampaikan itu jelas, tugas saya sudah selesai.

Padahal, ada satu tugas lagi yang jauh lebih penting: Menanamkan empati.

Satu hal yang selalu saya ingat ketika menulis microcopy adalah bahwa tugas saya itu tidak hanya menulis. Tetapi juga menulis dengan pandangan bahwa ada orang lain yang membaca tulisan saya.

Mari kita ambil contoh sebuah error message.

Sebuah error message tidak bisa dibilang efektif ketika hanya tujuan fungsionalnya sudah terpenuhi (misalnya: “Kesalahan sistem. Coba lagi kemudian.”) Sama halnya dengan ketika hanya tujuan emosionalnya yang terpenuhi (misalnya: “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang Anda alami.”)

Ia baru bisa dibilang efektif ketika baik tujuan fungsional maupun tujuan emosionalnya tersampaikan.

Contoh: “Maaf, ada kesalahan di sistem aplikasi. Selagi menunggu diperbaiki, mungkin Anda ingin melihat-lihat halaman lain terlebih dahulu?”

Kesalahan tersampaikan, solusi diberikan. Ditambah, teksnya seolah seperti sedang berbicara langsung kepada pengguna aplikasi tersebut.

Perbandingan tiga microcopy dilihat dari level fungsional dan emosionalnya

Untuk melatih skill ini, salah satu latihan yang sering saya lakukan adalah melakukan perspective-taking. Secara sadar, saya harus mampu membayangkan bahwa saya sedang melihat diri saya sendiri dari kejauhan.

Bayangkan saja ketika kamu sedang membaca tulisan ini, maka pada saat yang sama kamu harus mampu membayangkan bahwa kamu melihat diri kamu sendiri sedang membaca dari kejauhan.

Ketika berbicara tentang tulisan yang berempati, kamu juga harus selalu memperlakukan tulisanmu sebagai tulisan orang lain yang tidak kamu kenal.

Dengan begini, kamu jadi mampu memberikan kritik terpedas untuk tulisanmu sendiri, sebelum nantinya dikritik lebih pedas oleh orang lain seperti editor, atasan di tempat kerja, atau lebih buruknya lagi, pengguna aplikasinya.

Utamanya, dengan melakukan perspective-taking, kamu jadi bisa punya cara melihat yang lebih luas tentang bagaimana pengguna aplikasi akan bereaksi. Apakah mereka memiliki pengalaman berselancar yang menyenangkan? Atau sebaliknya?

Tips tambahan belajar mengasah empati:

  • Observasi tulisan-tulisan di sekitarmu. Dari poster di tiang listrik depan rumah, tulisan vandalisme di pinggir jalan, hingga caption media sosial sahabatmu yang baru liburan. Cari tahu apa yang kamu suka dan tidak suka lalu buat catatanmu sendiri.
  • Baca karya fiksi. Suka bacaan panjang? Pilih satu novel Indonesia. (Saya rekomendasikan karya-karyanya Dee Lestari!) Suka bacaan ringan? Bisa pilih salah satu cerpen dari kumpulan cerpen ini. Lakukan setiap malam sebelum tidur. Sepuluh menit cukup dan rasakan perbedaannya setelah sebulan.
  • Tulis peristiwa paling menarik dalam sehari. Cara belajar ini saya dapatkan dari bukunya Matthew Dicks berjudul Storyworthy. Ia bilang: “Jika kamu bisa membuat cerita yang menarik tentang hari, apa yang akan kamu tulis sesingkat-singkatnya?” Silakan dicoba.

Terus bertanya hingga akar masalah

Jebakan lain yang saya sering alami ketika menulis untuk aplikasi adalah merasa cepat puas dengan konteks yang saya punya.

Katakan ada satu brief dari tim produk yang masuk. Mereka ingin membuat sebuah halaman empty state di Instagram, di mana pengguna bisa menyimpan foto-foto yang mereka sukai di halaman Arsip.

Jika saya hanya bergantung pada konteks yang saya miliki, mungkin saya hanya akan menulis: “Belum ada foto di sini.”

Tapi jika saya bertanya, apa sebenarnya yang membuat halaman Arsip ini kosong?

Saya selalu melihat ini dengan kerangka pikir The Five Whys: Bertanya kenapa hingga lima kali.

Dengan kerangka ini, saya jadi tidak pernah merasa puas sampai saya tahu akar masalahnya apa.

Ini penting untuk memastikan bahwa sebagai UX writer, saya bisa menentukan strategi komunikasi yang paling tepat untuk disampaikan ke pengguna.

Apakah perlu semua masalah kita sampaikan? Atau sebenarnya ada informasi yang kita sembunyikan karena pengguna tidak perlu tahu?

Dengan kerangka The Five Whys, berikut adalah contoh cara melihat masalah dari contoh empty state bahwa belum ada foto di halaman Arsip Instagram:

  • Kenapa? Pengguna belum mengarsipkan foto apapun
  • Kenapa? Pengguna tidak tahu caranya
  • Kenapa? Pengguna tidak diedukasi oleh aplikasi terkait cara mengarsipkan foto

Dan seterusnya hingga lima kali.

Perbandingan hasil microcopy yang belum dicari akar masalahnya dan yang sudah

Dari cara berpikir seperti ini, kita jadi paham bahwa masalah sebenarnya halaman Arsip ini kosong adalah bukan karena pengguna tidak tahu caranya, tetapi karena aplikasinya tidak memberikan edukasi yang cukup terkait itu.

Tips tambahan belajar mencari akar masalah:

  • Perhatikan satu masalah di sekelilingmu dan tanya diri sendiri: Apa masalah sebenarnya? Misalnya, kamu melihat ada genangan air di depan pintu kamarmu. Sebelum membuat asumsi, tanyakan lima kali kenapa ada air di depan pintu kamarmu. Kebiasaan ini akan melatih kamu untuk menjadi individu yang lebih tenang dan tidak tergopoh-gopoh dalam menghadapi masalah.
  • Latihan mencari masalah dengan berimajinasi. Katakan di sekelilingmu memang tidak ada masalah yang kasat mata. Coba buat satu pernyataan di kertas (misal: “Laptop saya tidak mau nyala.”) Lalu, buat skenario jawabanmu sendiri dan buat akar masalahnya bisa dipercaya orang lain.

Lalu, apa langkah selanjutnya?

Saya ingin memberikan semangat untuk teman-teman yang mungkin setelah membaca tulisan ini, masih merasa “kurang relate” aatau “insecure” dan belum menemukan hubungan antara apa yang kamu pelajari/tekuni sekarang dan pekerjaan UX writer.

Tenang saja: Kamu akan tiba di sana.

Yang terpenting, jika kamu punya niat yang serius untuk menjadi seorang UX writer, pintu kesempatanmu terbuka luas karena jumlah permintaan perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia terhadap role ini juga tinggi.

Sebelum menuju pintu itu, agar kamu mampu bersaing dengan teman-teman lain yang juga punya niat yang kuat menjadi UX writer, kamu bisa pelajari:

  • Mesin-mesin penggerak bahasa (tata bahasa, gaya, semantika, tanda baca, kata hubung);
  • Empati (perspective-taking, menulis bukan untuk diri sendiri); dan
  • Cara memecahkan masalah (terus bertanya, tidak cepat puas, dan tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan).

Ketiga skill ini tidak melihat latar belakang pendidikanmu atau jurusan kuliahmu. Saya yakin bahwa terlepas dari jurusan kuliahmu sekarang, ketiga skill ini bisa dipelajari dari nol.

Terkhusus untuk poin pertama, tentu saja kamu harus belajar lebih keras daripada teman-temanmu yang memang berkuliah di jurusan bahasa atau sastra. Tapi kalau kamu sabar dan belajar pelan-pelan, kamu akan melihat hasilnya dengan sangat puas.

Selain tiga skill ini, langkah awal yang kamu bisa mulai coba adalah dengan membuat portofolio. Atau kalau terlalu berat, bisa buat studi kasus. Namun, sepertinya itu akan kita bahas di tulisan selanjutnya.

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.