Kilas balik perjalanan karier menulisku dari linguist engineer sampai UX writer | Bagian Satu

Himawan Pradipta
6 min readMar 26, 2021
Lini masa karier menulis saya dari lulus kuliah hingga saat ini sebagai UX writer.

Tiga hari sebelum masa orientasi di kampus Universitas Padjadjaran, saya diantar Bapak ke Jatinangor untuk mencari kos-kosan.

Suatu malam, kami berbicara cukup lama. Lebih lama dari obrolan biasanya (karena biasanya memang jarang mengobrol.)

Di momen itu, saya masih setengah tidak percaya bahwa statusku adalah mahasiswa Unpad.

Saya adalah satu dari hanya dua siswa SMA di Ciledug yang berhasil masuk Unpad waktu itu. Dan saya tidak pernah sebangga itu.

Sampai tiba-tiba Bapak bertanya: “Iwan kan mahasiswa sastra. Memangnya kamu suka menulis?”

Saya agak tersentak dan bingung harus menjawab apa. Dalam hati, saya bertanya: Apakah kalau seorang mahasiswa sastra berarti dia harus suka menulis?

Ya, saya memang suka menulis, tapi dengan Bapak bertanya seperti itu, saya merasa bahwa orang-orang punya anggapan tertentu terhadap mahasiswa sastra.

Meskipun saya berusaha tidak termakan omongan Bapak, jauh di dalam hati, saya bergeming: Setelah lulus nanti, saya akan kerja apa ya?

Kesibukan di kampus jadi tameng rasa tidak percaya diri sendiri

Sejak awal kuliah, saya selalu merasa takjub dengan teman-teman yang sibuk organisasi, aktif demo sana-sini, tapi tetap unggul dalam akademik.

Secara tidak langsung, mereka menjadi parameter kesuksesan saya.

Akhirnya, saya pun memilih terlibat aktif dalam organisasi dan lomba yang diadakan di kampus.

Dari badan eksekutif, klub debat, lomba pidato bahasa Inggris, public speaking, pertukaran pelajar, dan bekerja lepas sebagai tutor bahasa.

Untuk sesaat, saya merasa bahwa saya sudah sukses.

Kalau boleh memberikan ilustrasi segitiga tentang definisi kesuksesan di benak saya sebagai mahasiswa, kira-kira begini bentuknya:

Segitiga kesuksesan yang saya definisikan sendiri saat menjadi mahasiswa. Di bagian bawah adalah yang saya anggap “biasa-biasa saja,” yang di tengah itu yang “lumayan,” dan yang di atas artinya “sukses.”

Seketika, saya pun jadi pusat perhatian.

Jadi kamus berjalan saat orang-orang kebingungan. Diajak ikut berbagai macam project oleh mahasiswa fakultas lain. Bahkan diminta dosen mengisi salah satu kuliah singkatnya.

Saya berada di puncak segitiga. Merasa bahwa saya akhirnya punya prospek. Sebuah karier yang menjanjikan.

Hingga semester lima tiba.

Kegamangan akan mau kerja di mana semakin menjadi-jadi.

Saya sudah vakum organisasi dan semua aktivitas lain. Fokus saya hanya skripsi dan skripsi, dan saya tidak pernah merasa sesendirian itu.

Saya jadi bertanya: Lalu, setelah tiba di titik yang saya anggap adalah sukses, ke mana lagi saya harus melangkah? Apakah hanya segini saja dunia yang saya anggap ideal?

Ternyata, setelah mencapai puncak itu, semua kembali seperti biasa; Saya malah merasa lebih sendirian.

Orang-orang sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Saya tidak lagi jadi kamus berjalan. Saya jadi mahasiswa biasa lagi. Turun ke bumi.

Ketika dipikir-pikir lagi, mungkin kesibukan yang saya lakukan adalah topeng untuk menutupi rasa insecurity dan kegamangan yang muncul akan masa depan.

Teman-teman yang lulus duluan fokus ke akademiknya karena memang mereka tahu bahwa kampus memang tempat belajar.

Dan itu semua berawal dari rasa kurang percaya diri.

Padahal kalau saya yakin dengan diri sendiri, saya jadi tidak perlu berpikir banyak. Hal-hal yang tidak penting. Masa depan yang belum jelas.

Lagipula, nilai-nilai saya di kampus cukup baik. Dan saya mengerjakan semua tugas-tugas dengan efektif.

Dari situ, saya mulai mencoba mengambil langkah pelan-pelan dan fokus dengan apa yang terjadi sekarang: Kuliah.

Pekerjaan #1: Teknisi bahasa, memadukan linguistik dan (sedikit) koding

Pekerjaan purnawaktu pertama saya adalah linguist engineer. Atau bisa dibilang teknisi bahasa.

Waduh. Belajarnya sastra dan bahasa kok pekerjaannya bisa jadi teknisi?

Percayalah. Saya juga enggak ngerti.

Nama lengkap role-nya lengkapnya Artificial Entity Conversation Analyst. Nama perusahaannya adalah 2359 Media (sekarang 2359).

Kantor utamanya ada di Shenton House, Singapura, dan saya ditempatkan di kantor cabang di Dago Asri, Bandung.

Pekerjaannya ngapain?

Kamu tahu chatbot? Nah, tugasku adalah membuat sebanyak mungkin kata, frasa, atau kalimat dari apa yang kemungkinan ditanyakan oleh pengguna chatbot-nya.

Pertanyaan yang dilontarkan ini harus diperlakukan sebagai topik atau intent. Barulah di dalam intent ini saya harus membuat sebanyak-banyaknya kalimat.

Misalnya, jika konteksnya pengguna baru datang ke chatbot-nya pertama kali (onboarding), dan kemungkinan besar mereka akan mengatakan “Halo!” maka nama intent-nya adalah “sapaan / greeting.”

Sementara itu, jika pengguna memasukkan “assalamualaikum,” misalnya, maka intent yang harus kubuat adalah “sapaan relijius / religious greeting.”

Ilustrasi pemetaan intent yang saya lakukan ketika menjadi teknisi bahasa di 2359. Ini contoh intent “Sapaan” dan turunannya.

Di pekerjaan ini, saya juga harus belajar sedikit banyak bahasa pemograman seperti Javascript dan Python.

Fungsinya untuk memudahkan saya menangani kesalahan atau fallback yang terjadi di sisi back end. Tapi, untungnya saya tidak harus belajar hingga tahapan intermediate atau advanced.

Ini cukup menarik karena belajar bahasa pemograman itu adalah sesuatu yang tidak masuk kamusku.

Saya bersyukur sekali mendapatkan mentor yang hebat untuk belajar Javascript. Namun, tetap saja, kalau disuruh memilih, saya lebih baik pusing dengan Text Analysis dibandingkan dengan Javascript.

Pekerjaan #2: Masih dalam cakupan linguist engineer, dengan sedikit user experience

Setelah setahun bekerja di Bandung, saya pindah ke Jakarta, sekitar tahun 2018.

Nama role-nya masih linguist engineer. Perusahaannya bernama Yuna+Co. Produknya adalah fashion virtual assistant, di mana fashion stylist Yuna membantu perempuan Indonesia memilih outfit untuk acara tertentu.

Tugasku kurang lebih sama dengan apa yang kulakukan di 2359: Membuat kalimat sebanyak-banyaknya untuk chatbot.

Namun, yang agak berbeda adalah saya juga harus membuat tagging dengan jenis kalimat yang lebih advanced.

Jadi, chatbot-nya sudah bukan membaca hanya satu kata atau frasa, tetapi satu kalimat lengkap.

Contoh percakapan yang terjadi di chatbot Yuna. Kalimatnya lebih kompleks dengan satuan yang juga lebih sulit diprediksi.

Dengan membuat tagging seperti ini, kalimat yang saya tulis bisa terdengar seperti mengobrol dan tidak seperti robot.

Selain itu, saya harus memberikan feedback terhadap wireframe atau interaction yang terjadi di dalam chatbot-nya.

Ini termasuk saran dan kritik tentang bagaimana tulisan dari satu titik bisa berdampak pada emosi pembaca tentang tulisan di titik lainnya.

Yah, secara umum saya harus memastikan bahwa tulisan di dalam wireframe-nya memberikan pengalaman yang positif bagi pengguna.

Misalnya, jika pengguna memasukkan kalimat yang typo atau tidak diantisipasi oleh bot-nya (fallback intent), maka kalimat yang muncul juga harus, bisa dibilang, bertanggung jawab.

Saya tidak bisa membuat pengguna merasa bodoh atau bersalah karena salah mengetik, padahal sebenarnya memang kalimat tersebut tidak terdaftar ke dalam bank konten di intent yang relevan.

Dalam chatbot design, divergent flow adalah arus percakapan yang berpotensi mengalami kesalahan (entah dari sistem chatbot-nya atau pengguna seperti typo, salah eja, atau adanya karakter khusus). Sementara, happy flow adalah arus percakapan ideal yang sesuai dengan ekspektasi sistem dan pengguna.

Dua pekerjaan pertama saya ini memberikan pelajaran: Bahwa seorang lulusan bahasa dan sastra punya banyak sekali peluang kerja.

Apalagi bidang kepenulisan adalah bidang yang membutuhkan pola pikir kreatif (creative thinking), dan karenanya tidak akan pernah bisa digantikan oleh robot.

Bekerja di bidang teknologi (apalagi untuk role yang membutuhkan pengetahuan bahasa pemograman) adalah sesuatu yang di luar dugaan saya sama sekali.

Namun, pengetahuan berbahasa yang cukup dari sekolah dan bantuan mentor yang mumpuni membuat saya bisa mengatasi semua tantangan di pekerjaan dengan cukup baik.

Jadi, jika kamu sekarang masih kuliah di jurusan bahasa atau sastra, tidak perlu patah semangat. Kamu bisa belajar banyak pelan-pelan karena mengutip kata pepatah: “dengan bahasa, kamu bisa menguasai dunia.”

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.