CERITA PERSONAL

Kilas Balik Perjalanan Karier Menulisku dari Lulus Kuliah sampai UX Writer | Bagian Dua

Mengenal sedikit lebih jauh tentang copywriter dan content writer

Himawan Pradipta

--

Ucapan Bapak bahwa “mahasiswa sastra [harus] menulis” di tulisan sebelumnya seketika jadi mantra saya saat sedang malas berkuliah. Dosen-dosen di kampus juga tidak pernah bosan mengingatkan bahwa: “Tugasnya mahasiswa itu ya kalau tidak membaca, ya menulis.”

Kalau sudah membaca, tulis apa yang dibaca. Lanjut lagi membaca, tulis lagi. Dan seterusnya. Tapi saya jadi berpikir: “Buat apa itu semua?” Apa dampaknya bagi saya sendiri dan orang lain?

“Biar otakmu jalan terus.” jawab dosenku datar.

“Kamu tahu tidak bahwa otak manusia itu masih bekerja bahkan ketika tubuhmu sedang tidur. Saat terlatih membaca dan menulis, kamu jadi lebih kritis dalam menanggapi banyak hal. Kamu jadi kritis terhadap dirimu sendiri.”

Kalau begitu, pertanyaan selanjutnya adalah: Kenapa saya harus jadi lebih kritis? Kenapa otak saya harus “jalan terus?”

“Karena itulah yang membedakan kamu dengan makhluk lainnya di muka bumi. Dengan hewan atau dengan tumbuhan. Atau bahkan dengan manusia lainnya.” Jawaban-jawaban ini menyadarkan saya.

Sebenarnya, yang membedakan cara satu manusia berpikir dengan manusia lainnya bukanlah kemampuannya menulis dan membaca, melainkan kemampuannya menyampaikan cerita.

Cerita bisa menggerakkan hati dan mengenalkan cara pandang baru. Bisa menyulut kemarahan tapi juga menenangkan. Bisa memulai perang, tapi bisa juga membentuk agama-agama baru.

Mengutip Yuval Noah Harari dalam Sapiens, kemampuan bercerita seseorang untuk meyakinkan orang lain dan membuat komunitas adalah kekuatan yang tidak dimiliki makhluk lain. Lengkapnya,“[humans] are storytelling animals.

Ya sudah. Sebelum ada yang menyuruh naik mimbar, saya akan cerita tentang dua pekerjaan saya yang membutuhkan kemampuan bercerita: Copywriter dan Content Writer.

Pekerjaan #3: Copywriter — Tukang jualan lewat tulisan

Tugas pertama saya sebagai copywriter adalah menulis situs web aplikasi kasir Moka.

Karena tidak pernah menulis atau menjual apapun lewat situs web, saya melihat pekerjaan ini cukup menarik sekaligus menantang.

Di pekerjaan ini, saya baru tahu mengenal desk research dan benchmarking, dua hal penting dalam proses menulis copywriting.

Saya membaca banyak artikel tentang menulis untuk situs web, begitu pun dengan cara menulis headline, subheadline, dan konten website.

Saya juga jadi lebih paham di bagian mana di situs yang harus membeberkan semua informasi tentang produknya. Dan bagian mana yang tidak perlu diumbar semua poin penjualannya.

Selain menulis untuk situs web, saya ditugaskan untuk menulis di berbagai kanal pemasaran baik online maupun offline.

Dengan karakteristik kanal yang berbeda-beda, saya harus cermat memilah jenis copy yang seperti apa yang harus saya tulis juga.

Misalnya, menulis untuk media offline seperti papan iklan (billboard) atau flyer tentu akan berbeda dengan menulis untuk media online seperti Google Ads atau jenis iklan lainnya di internet.

Ilustrasi penggunaan bahasa yang menyesuaikan dengan gaya berbicara target audiens

Tantangan lain sebagai copywriter adalah memastikan bahwa tulisan yang saya buat harus mudah dipahami oleh audiens produknya.

Ini berarti menghindari kata-kata yang tidak relevan atau tidak akrab di telinga pembaca.

Misalnya, jika audiens produknya adalah remaja berusia 15 hingga 17 tahun yang tinggal di Jakarta, maka kemungkinan besar saya tidak akan menggunakan bahasa formal seperti manuskrip pidato kepresidenan.

Kenapa begitu? Karena khawatirnya, jika saya tetap membuat tulisan yang tidak relevan dengan pembaca, tulisannya tidak akan dibaca sama sekali dan ujung-ujungnya, produknya tidak terjual. Perusahaan rugi.

Pekerjaan #4: Content Writer: Tukang jualan lewat tulisan (yang biasanya lebih panjang)

Dua project besar pertama yang saya kerjakan pertama kali sebagai content writer adalah artikel blog dan buku elektronik (e-book).

Menulis artikel ini agak berbeda dengan menulis iklan karena poin-poin yang disampaikan jauh lebih banyak dan kompleks.

Yang saya lakukan adalah membuat struktur dalam bentuk kerangka sebelum menulis. Di dalam kerangka itu, terdapat juga referensi dengan tautannya.

Dengan cara ini, saya jadi punya gambaran besar terkait arah perbincangan dari topik artikel yang ingin dibahas.

Ini juga saya lakukan ketika membuat e-book, di mana saya harus bekerja sama dengan tim data untuk mendapatkan insight seputar topik e-book-nya.

Selain itu, saya juga harus memerhatikan Search Engine Optimization (SEO).

Ini berarti melakukan riset kata kunci agar konten yang saya buat memiliki performa yang baik di halaman hasil pencarian Google.

Setelah diriset, kata kunci yang relevan dengan topiknya harus diintegrasikan ke dalam tulisan yang saya buat atau yang secara teknis disebut dengan SEO Copywriting.

Ilustrasi proses copywriting yang dioptimalkan dengan kata kunci hasil riset. Proses menulis ini biasa disebut dengan SEO Copywriting, salah satu bidang ilmu kepenulisan yang juga sedang banyak dicari di 2021.

Proses menulis seperti ini tentu membuat saya tidak hanya harus membuat tulisan yang relevan dengan kebutuhan pembaca tetapi juga mudah dicari di Google.

Yang cukup menantang dari kedua pekerjaan ini adalah selain bertugas di dalam perusahaan yang sama, saya juga harus mengelola tiga penulis lepas sekaligus.

“Mengelola” berarti menentukan timetable, content plan, dan alokasi menulis untuk periode waktu tertentu bagi ketiga orang tersebut dan saya sendiri.

Dengan kata lain, ini adalah pertama kali saya diberikan tanggung jawab mengelola sebuah tim.

Minggu-minggu pertama sempat bingung memang, namun setelah konsultasi dengan lead ditambah sedikit desk research, saya bisa lebih paham cara mengelola orang lain dalam sebuah tim.

Pelajaran penting sebagai seorang pencerita (storyteller)

Kedua pekerjaan ini mengajarkan saya beberapa hal:

Yang pertama. Menulis itu bukan hanya tentang mencampurkan kata-kata menjadi satu kalimat; Menulis juga tentang membuat tulisannya bisa dipercaya oleh pembaca.

Satu alasan karya fiksi seperti novel punya pembaca yang banyak adalah bukan karena piawainya si penulis merangkai kata-kata, melainkan karena ceritanya mudah dipercaya.

Menurut saya, ini adalah apa yang membuat seorang penulis mahal dan berbeda dibandingkan penulis lainnya.

Semakin dipercayai sebuah cerita, semakin banyak pembacanya.

Semakin banyak pembaca, semakin besar loyalitas mereka untuk membaca tulisan selanjutnya.

Yang kedua. Menjadi seorang pencerita harus memiliki mata yang banyak dan telinga yang lebar.

“Mata yang banyak” artinya mengenal jenis tulisan lain.

Saya belajar tentang perbedaan tulisan deskriptif dan kontemplatif. Lalu, di mana bedanya puisi dan haiku. Di mana persamaan otobiografi dengan biografi.

Baru setelah pindah ke kerjaan lain saya baru menyadari betapa pentingnya menguasai berbagai jenis tulisan di tempat kerja. Saya baru sadar bahwa menjadi seorang penulis berarti juga menjadi seperti air.

Lalu “telinga yang lebar” berarti harus siap menerima kritikan sepedas apapun dari orang lain.

Mentor saya selalu mengatakan juga bahwa meski penulis itu sendiri harus menjadi kritik terpedas tulisannya sendiri, ia tetap harus butuh orang lain untuk menilai.

Karena dengan meminjam mata orang lain, ia jadi bisa menilai tulisannya dengan lebih objektif.

Di tulisan selanjutnya, saya akan sharing seputar pekerjaan yang membutuhkan teknik storytelling di level yang berbeda.

Nama pekerjaannya Story Copywriter.

Penasaran? Tungguin ya.

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.