CERITA PERSONAL

Kilas Balik Perjalanan Karierku dari Lulus Kuliah Hingga Menjadi UX Writer | Bagian Final

Himawan Pradipta
3 min readJul 18, 2021

Saya selalu tertarik dengan cara orangtua di film-film Hollywood membacakan cerita sebelum tidur kepada anak-anaknya. Karena di rumah, orangtua saya tidak pernah begitu.

Saya pun inisiatif: Baca buku untuk diri sendiri. Entah itu buku fiksi, agama, atau puisi, saya lahap semuanya sebelum tidur.

Sampai akhirnya ini menjadi kebiasaan.

Buku-buku berserakan di dalam rumah. Satu di bawah anak tangga. Satu terbuka setengah di belakang pintu kamar. Satu terselip teralis jendela.

Itu juga mungkin menjelaskan mengapa saya ingin mendalami bahasa dan sastra di perguruan tinggi. Apa sih rahasianya agar penulis-penulis ini bisa membuat ceritanya sebegitu menarik?

Pakai pelet apa gimana?

Namun begitu, mimpi besar saya ketika memutuskan belajar sastra di bangku kuliah bukanlah untuk menjadi penulis. (Yah, memang ada terpikir ke sana. Tapi bukan itu tujuan utamanya.)

Mimpi saya waktu itu adalah ingin tahu bagaimana sebuah narasi bekerja dan memikat banyak pembaca. Jika ilmu sastra ini adalah motor, maka apa mesinnya?

Ternyata, bahkan ketika saya sudah benar-benar jadi mahasiswa sastra inggris, (dan berkenalan dengan piramida narasinya Freytag hingga istilah McGuffin-nya Alfred Hitchcock,) saya makin merasa tidak tahu.

Semakin masuk ke dunia kerja sebagai copywriter, saya belajar hal-hal baru yang ternyata adalah percabangan dari “ilmu murni” yang saya pelajari di bangku kuliah.

Saya belajar: Seperti ilmu fisika atau matematika, ternyata ilmu bercerita juga memiliki rumus. Tidak sembarangan. Butuh ketelitian dan delicacy agar pesannya bisa sampai dengan efektif ke pembaca.

Pekerjaan saya berikut ini adalah “sekolah” saya yang baru. Ia mengajarkan saya untuk terus mendalami ilmu bercerita dan kepenulisan dari kacamata bisnis.

Pekerjaan #5: Story Copywriter

Tanggung jawab utama sebagai seorang story copywriter adalah membuat cerita untuk campaign pemasaran sebuah komoditas. Komoditas ini bisa berwujud produk konkret atau jasa.

Ia kemudian akan dijual ke audiens yang spesifik dengan cerita. Mediumnya bermacam-macam. Ada iklan televisi, papan iklan, newsletter, Google Ads.

Saya ingat sekali tugas pertama ketika menjadi story copywriter adalah membuat narasi untuk sebuah iklan televisi perusahaan tersebut.

Di sana, saya diberikan tugas berupa brief yang terdiri atas siapa audiensnya, apa produknya, dan call to action-nya.

Saya pun memecah tiga komponen agar bisa terlihat lebih jelas masalahnya apa: Audience, Intention, dan Message.

Barulah dari situ, saya mulai membuat konsep video dan teksnya (yang juga menjadi voice over). Untuk membuat ini, saya harus bisa memvisualisasikan apakah teks yang saya buat sesuai dengan konsep videonya.

Dalam pekerjaan ini, dibutuhkan kreatifitas yang cukup tinggi untuk bisa membayangkan bagaimana hasil akhirnya.

Pekerjaan #6: UX Writer

Membuat cerita memang satu tantangan, namun di pekerjaan yang satu ini saya dihadapkan pada tantangan lain yang lebih besar: Menulis untuk komponen User Interface (UI).

Role yang ditawarkan kepada saya awalnya adalah product copywriter — penulis copy untuk produk digital atau aplikasi. Tidak tahu sama sekali itu apa.

Tugas pertamaku adalah menulis onboarding message saat user pertama kali mengunduh aplikasi dan meminta mereka memilih bahasa terlebih dahulu: Bahasa Indonesia, Inggris, atau keduanya.

Agak kalap, bahkan hampir mau menyerah di pertengahan jalan karena saya takut salah. Bagaimana tidak? Copy ini akan dibaca oleh pengguna aplikasinya, yang pada waktu itu angkanya sudah mencapai jutaan.

Lama-lama, saya pun belajar bahwa pekerjaan ini membutuhkan empati yang besar karena banyak pesan yang ditulis berkaitan dengan emosi pengguna.

UX writer juga harus memahami user journey dan dasar-dasar sebuah desain yang intuitif. Karena tulisan yang akan dihasilkan juga dipengaruhi oleh apa yang mengelilinginya.

Kesimpulan

Keenam pekerjaan ini menyadarkanku bahwa ilmu bahasa tidak akan pernah mati. Ia akan tetap dibutuhkan sampai kapan pun karena kreativitas tidak akan bisa dikomputasi.

Itulah mengapa saya selalu salut dengan keberanian orang-orang yang berani percaya bahwa sastra bisa membawa mereka ke masa depan yang cerah.

Jadi, bagi siapa pun yang membaca ini dan merasa tidak percaya diri bersekolah di jurusan bahasa dan sastra, kamu tidak sendirian.

Awalnya, saya juga merasa sendirian berjuang di jalan pendidikan ini. Namun, saya juga percaya bahwa saya tidak boleh tutup mata dengan ilmu lainnya seperti teknologi atau desain.

Karena menggabungkan bahasa dan ilmu lainnya akan menjadi kekuatan yang selalu lestari. Namun, itu semua tidak akan bisa didapatkan jika saya tidak mencintai bahasa dari awal.

Selamat berjuang. Dan mari saling menyemangati.

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.