COPY RESEARCH

Nulis Capek-Capek Tapi Enggak Relevan sama Pembacamu? Coba Cek Microcopy-mu dengan Tes Ini.

Himawan Pradipta
5 min readApr 30, 2021

Salah satu tugas terberat UX writer, atau penulis secara umum, adalah memastikan bahwa tulisannya layak dibaca audiensnya. Audiens tidak hanya harus dibuat paham dengan tulisannya tetapi juga merasa dilibatkan dalam percakapan yang terjadi dari satu layar ke layar lainnya.

Dalam konteks UX writing, tulisan ini berarti microcopy yang mengantarkan user dari halaman depan sebuah platform digital hingga ke halaman tujuannya.

Jika dilakukan dengan benar, microcopy yang inklusif ini akan memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi user ketika berselancar di aplikasinya. Itulah mengapa untuk membuat microcopy yang inklusif, UX writer harus bisa menghindari tulisan yang:

  • Kurang dipahami pembaca;
  • Tidak akrab dengan telinga pembaca; dan
  • Menjaga jarak dengan pembaca.

Miscomprehension: Kata-kata membingungkan, pembaca dipusingkan

Tulisan yang “kurang dipahami pembaca” berarti memiliki kata-kata yang terlalu sulit dan tidak bisa dipahami konteksnya dalam sekali baca.

Misalnya: “Aplikasi ini dilisensi secara etika oleh Komisi Etik Indonesia.”

Frasa “dilisensi secara etika” di sana bisa menimbulkan dua kebingungan.

Yang pertama, apa maksudnya “aplikasi [yang] dilisensi?” Apakah berarti ada aplikasi-aplikasi yang tidak dilisensi? Mengapa harus diberikan izin? Parameter apa yang menentukan bahwa sebuah aplikasi bisa dilisensi atau tidak?

Yang kedua, apa maksudnya “dilisensi secara etika?” Apakah itu berarti aplikasinya menggunakan bahasa yang bermoral dan tidak menggunakan kata-kata kasar, misalnya?

Jika maksudnya adalah penggunaan bahasanya sudah teruji dan dianggap lolos untuk konsumsi publik, maka akan lebih mudah dipahami jika teksnya diubah menjadi: “Bahasa di dalam aplikasi ini sudah lolos uji kelayakan dan keterbacaan dari Komisi Etik Indonesia.”

Unfamiliarity: Faktor Kurang Lumrah dan Kesenjangan Usia

Penyebab tulisan yang kurang relevan kedua adalah “tidak akrab di telinga pembaca.” Tidak akrab bisa disebabkan diksi yang jarang didengar pembaca atau yang dianggap kurang lumrah menurut konvensi. Misalnya: “Anda memiliki renjana yang kuat untuk keluar dari aplikasi ini?”

Kata “renjana” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, gairah). Secara sekilas, saya sendiri membacanya agak aneh dan sedikit terlalu puitis untuk tulisan di dalam sebuah aplikasi. Sebagai gantinya, kita bisa menulis: “Yakin ingin keluar?”

Alasan lain tulisan bisa kurang relevan adalah karena adanya kesenjangan usia yang terlalu besar dengan audiens mu.

Katakan audiensmu bernama Nara, seorang perempuan berusia lima belas tahun yang tinggal di Jakarta. Sehari-hari, ia menggunakan bahasa gaul khas anak Jakarta untuk berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya.

Sementara itu, contoh kalimat yang kita tulis adalah “Di Restoran Padang ini, kamu bisa memilih makanan langsung dari bopet atau minta dipilihkan oleh pemiliknya.”

Kata “bopet” yang berarti “buffet atau prasmanan” dalam bahasa Minang, mungkin akan menjadi sesuatu yang baru, kalau tidak mengejutkan, bagi Nara. Bandingkan dengan kalimat “kamu bisa memilih makanan langsung dari prasmanan.”

Kira-kira dari kedua alternatif ini, mana yang lebih relevan dengan gaya bahasa Nara?

Detachment: Berjarak dan tidak punya kesamaan dengan pengalaman audiens

Lalu, faktor terakhir yang membuat tulisanmu kurang akrab di telinga pembaca adalah detachment. Detachment ini bisa terjadi karena pemilihan kata tidak jelas atau kurang dipahami.

Misalnya: “Pernah ga sih makan paku payung sambil nonton debus?”

Pertanyaan ini kurang terasa dekat dengan pembaca karena kebanyakan audiens mungkin akan menjawab dengan “tidak pernah” atau “sangat jarang.” Tulisan yang mungkin lebih dekat dengan pembaca adalah “Pernah ga sih makan gorengan tapi minyaknya banyak banget?”

Secara asumtif, gaya copy yang kedua lebih relevan dengan gaya bahasa target audiens, setidaknya untuk aplikasi kencan yang agak “bandel.” Nah, di sinilah peran penting user research. Kenapa? Supaya copy-mu lebih relevan dengan kebutuhan pengguna atau pembaca.

Sebagai hasilnya, copy-mu akan lebih didengar dan tidak lagi dianggap kurang familiar, terlalu sulit dicerna, atau tidak relatable.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Untuk menguji apakah microcopy-mu bisa relevan dengan cara berbicara audiens mu, kamu bisa melakukan UX Cloze Test (Tes Rumpang UX). Menurut Justin Baker, design lead Atlassian, UX cloze test “paling efektif untuk menguji sebuah produk untuk platform digital seperti aplikasi atau situs web.”

Jenis tes ini menguji tidak hanya pemahaman membaca (reading comprehension) tetapi juga skor keterbacaan (readability score).

Langkah-langkah melakukan UX Cloze Test

  1. Buat satu paragraf berisi dua atau tiga kalimat tentang produk atau layanan aplikasinya
  2. Kosongkan setiap kata ke sekian (n)
  3. Buat pilihan jawabannya
  4. Rekrut partisipan yang sesuai kriteria testing, lalu testing ke partisipan yang sudah terpilih.

Mari kita bahas detilnya.

1. Buat satu paragraf berisi dua atau tiga kalimat tentang produk atau layanan aplikasinya

Disarankan agar kamu bisa membuat teks yang spesifik berbicara tentang aplikasinya. Produk atau layanan seperti apa yang dijual aplikasimu.

Ini dilakukan agar audiens aplikasinya bisa memahami konteks dari apa yang sedang kamu tulis.

Kamu bisa menulis teksnya sendiri atau berkonsultasi dengan penulis lain.

2. Kosongkan setiap kata ke sekian (n)

Disarankan agar kamu bisa membuat teks yang spesifik berbicara tentang aplikasinya. Produk atau layanan seperti apa yang dijual aplikasimu.

Ini dilakukan agar audiens aplikasinya bisa memahami konteks dari apa yang sedang kamu tulis.

Kamu bisa menulis teksnya sendiri atau berkonsultasi dengan penulis lain.

3. Buat pilihan jawabannya

Pilihan jawaban ini bisa dibuat secara terpisah di bawah keseluruhan teksnya atau tepat di samping kata yang dikosongkan.

Contohnya seperti ini:

Di cara 1, kamu bisa membuat pilihan jawabannya terpisah dengan teksnya.

Di cara 2, kamu bisa membuat jawabannya tepat di kolom yang dikosongkan, dan pilihan jawabannya dipisahkan dengan garis miring.

4. Rekrut partisipan yang sesuai kriteria testing, lalu testing ke partisipan yang sudah terpilih.

Idealnya, partisipan yang harus direkrut adalah orang-orang yang masuk dalam demografi audiensmu.

Menurut Justin Baker, 10 (sepuluh) orang adalah jumlah sampel yang bisa digunakan untuk merekrut partisipan.

Terakhir, bagaimana dengan cara skoringnya?

Lihat ketepatan mereka mengisi bagian yang kosong dengan kata-kata yang disiapkan. Jika jawabannya tidak sama persis dengan kata yang sudah disiapkan sebelumnya, tidak apa-apa. Asalkan maknanya kurang lebih sama.

Salah eja tidak perlu dilihat, asalkan maknanya sesuai dengan kata aslinya, itu bisa dianggap benar.

Untuk cara skoringnya, mari kita lihat ilustrasi di bawah ini:

Kesimpulannya adalah untuk memastikan bahwa microcopy-mu bisa relevan dengan gaya berbicara pembaca, kamu bisa menggunakan UX Cloze Test.

Yuk pelajari jenis user research lainnya di kelas Purwadhika Digital Technology School.

Kamu juga bisa cari tahu lebih lanjut seputar program belajar user research di sini, atau langsung melalui WhatsApp 081311485800.

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.