PERSIAPAN KARIER

Studi Kasus UX Writing untuk Meningkatkan Kredibilitasmu sebagai Pemula di Mata Calon Employer

Himawan Pradipta
7 min readAug 9, 2021

Panggil dia Adin. Baru lulus kuliah S1. Sering dapat kerjaan menulis lepas untuk berbagai industri. Dari kuliner, teknologi, sampai zodiak, sudah habis dilahapnya. Tulisannya begitu bagus hingga ia memiliki banyak kerjaan dalam satu waktu. (Mungkin dia lagi nulis juga nih sekarang.)

Suatu hari, Adin datang ke sebuah wawancara kerja untuk melamar posisi UX Writer.

Di ruang tunggu, ia berkenalan dengan Nida.

Nida juga baru mendapatkan gelar sarjananya. Meski suka menulis sejak kecil, ia belum pernah mengambil pekerjaan lepas profesional seperti Adin. Tulisan-tulisannya hanya bisa dilihat di tugas-tugas kuliah (dan skripsinya) yang memang mengharuskannya menulis. Sisanya? Nihil.

Seperti orang asing pada umumnya, mereka saling bercerita tentang kesibukan saat ini. Dengan santainya, Adin mengatakan bahwa ia sedang bekerja sebagai penulis lepas untuk tiga klien yang berbeda.

Agak terkejut, Nida mengambil napas sebentar. Memproses. Karena ia tidak menyangka sedang berbicara dengan orang hebat. Sambil tersenyum, Nida pun menanggapi bahwa ia belum memiliki pengalaman menulis secara profesional.

“Tapi,” lanjutnya, “aku aktif belajar tentang kepenulisan. Ikutan webinar, baca artikel dari expert, dengerin podcast tentang UI/UX.”

Sebelum Adin berkomentar, sekretaris kantor tersebut memanggil mereka untuk masuk ke dalam ruang wawancara. Mereka duduk bersebelahan, menghadap dua employer.

Satu employer melempar pertanyaan satu demi satu, diikuti oleh employer lain. Hingga di akhir sesi wawancara, terlontar pertanyaan: “Pelajaran terbesar apa yang kamu dapatkan saat menulis selama ini?”

“Bagaimana dengan Anda?” Employer mengalihkan matanya ke Nida.

Employer tersebut menghela napas dan menganggukkan kepala sekali. Ia berterima kasih dan berpesan: “Kami akan kabari kalian dalam dua minggu.”

Sebelum berpisah, mereka bertukar nomor telepon.

Dari cerita di atas, kira-kira siapa ya yang akan di-hire?

Jangan cepat-cepat mengambil keputusan dulu, Pak Eko.

Satu hal yang kita jelas tahu adalah: Nida datang dengan studi kasus; Rudi tidak. Dan keduanya tidak punya pengalaman UX Writing sama sekali. Mereka pemula di bidang ini.

Sekarang mungkin pertanyaan yang perlu dijawab dulu adalah: Apa sih bedanya studi kasus dan portofolio?

Perbedaan studi kasus dan portofolio

Dalam kasus ini, tidak ada perbedaan, sebenarnya. Baik studi kasus maupun portofolio sebenarnya dibuat untuk memamerkan apa yang sudah kita kerjakan. Seperti unjuk gigi.

Meminjam argumen dari Wikipedia, studi kasus berarti “pengamatan sebuah (atau sejumlah) kasus real-world context yang mendalam dan mendetil.”

Pengamatan ini tidak berarti mengatakan bahwa “copy ini aneh” atau “copy itu kurang oke,” tetapi bisa memberikan alasan yang masuk akal mengapa ada argumen tersebut.

Pada saat yang sama, portofolio bersifat membantu “mendokumentasikan pendidikan, sampel karya, dan keterampilan seseorang.” Tipikalnya, ia digunakan untuk “melamar kerja, masuk kuliah, atau program pelatihan.”

Dari kedua penjelasan ini, aman untuk mengatakan bahwa keduanya punya fungsi yang sama, yaitu to show what we’ve got.

Kurang lebih sama seperti influencer di media sosial dengan Instagram atau Tiktoknya. Atau seperti vlogger dengan Youtube-nya. Kalau tidak ada yang dipamerkan, dari mana orang ingin tahu kemampuan kita?

Hal-hal penting yang perlu diutamakan dalam membuat studi kasus

Lalu, pertanyaan berikutnya adalah hal apa saja yang bisa membuat studi kasusmu menonjol dibandingkan studi kasus lain? Ada tiga:

  • Cara pengamatan (observatory thinking)
  • Konteks user flow (user flow contextualization)
  • Komunikasi kreatif (creative communication)

Yang pertama adalah caramu mengamati tulisan di dalam user interface. Apakah tulisan itu selayak itu untuk dibahas? Atau jangan-jangan ada tulisan lain yang dampaknya lebih signifikan terhadap screen-nya?

Misalnya, tulisan-tulisan yang sifatnya sudah sejelas itu. Seperti tombol “OK” atau “Tutup” di dalam komponen dialogue box atau infobox. Ini adalah jenis tulisan yang tanpa berpikir pun, user pasti akan paham dalam sekali baca.

Sebagai gantinya, pilihlah copy yang terdiri atas minimum tujuh kata dan lebih. Karena selain kata-katanya banyak, tingkat pemahaman teks tersebut lebih kompleks dibandingkan dengan copy yang memiliki satu atau dua kata.

Ini berhubungan juga dengan konteks user flow. Studi kasusmu harus mampu menjelaskan bahwa user sedang ada di layar yang mana saat membaca copy-nya? Cek kembali user flow-nya dan perhatikan posisi copy-nya.

Lalu, dari pengamatan tadi, seberapa fasih atau luwes kamu dalam menarasikannya? Bedakan mana fakta dan observasi. Kenapa perlu menulis tiga paragraf kalau sebenarnya bisa menulis satu? Apakah harus semuanya dibuat teks?

Lalu, sebagai pemula yang tidak punya pengalaman UX Writing seperti Nida, bagaimana cara membuat studi kasusmu sendiri?

Langkah-langkah membuat studi kasus UX Writing untuk pemula

  1. Pilih aplikasi yang sering kamu buka. Kenapa harus yang sering dibuka? Karena kemungkinan besar kamu sudah nyaman menggunakan aplikasi itu. Entah pengalamannya yang intuitif atau copy-nya begitu bagus, sehingga tidak terasa bahwa kamu sedang berselancar di dalam aplikasi.
  2. Tentukan screen yang ingin dibahas. Apakah ingin membahas halaman depan aplikasinya? (Misalnya: Jika kamu sedang berbelanja sesuatu di aplikasi e-commerce, berarti halaman-halaman terakhirnya termasuk halaman pembayaran atau checkout). Jelajahi aplikasinya. Pergi ke banyak screen.
  3. Buat observasimu. Mulai dengan apa yang kamu suka dan tidak suka. Sertakan juga referensi atau argumen yang mendukung pendapatmu. Ini bisa diambil dari buku, jurnal ilmiah, artikel kredibel, atau literatur lainnya yang sudah pernah membahas tentang konteks yang sama dengan konteks studi kasusmu.
  4. Tulis proposal copy. Bayangkan jika kamu adalah orang yang ditugaskan untuk menulis copy tersebut. Sediakan alternatif copy sebanyak dua buah dengan alasanmu juga. Dan tentukan rekomendasinya. Dari kedua itu, yang mana pilihanmu dan apa alasannya. Jika kamu merasa satu copy sudah cukup, ya silakan.

Perlu dicatat bahwa kerangka di atas adalah untuk studi kasus yang dikerjakan di Google Slides. Lalu, bagaimana jika kamu ingin membuat studi kasus di blog?

Ya tinggal disesuaikan saja. Pastikan buat dalam bentuk bagian/section. Ini bisa dilakukan dengan membesarkan ukuran font judulnya dua kali dari ukuran teks body-nya.

Bisa juga menggunakan pemisah antarbagian seperti garis melintang. Ini agar proses scanning-nya bisa lebih nyaman. Apalagi jika tulisan di dalam blognya cukup panjang, sehingga pembaca bisa tersesat jika navigasinya tidak jelas.

Lalu, baiknya saya mengerjakan di Google Slides (PDF) atau di blog?

Masing-masing punya pro dan kontranya.

Jika kamu ingin membuat studi kasus sebagai file personal, maka Google Slides adalah pilihan yang tepat. Namun, jika ingin mengubah kontennya, kamu harus mengubah dan menyimpannya lagi sebagai file baru. Boros storage.

Agak berbeda dengan platform blog seperti Medium atau Wordpress. Ketika ada employer yang meminta studi kasusmu, kamu tinggal mengirimkan tautan blog-nya ke mereka. Simpel dan cepat. Lagipula, jika ingin mengubah kontennya, kamu tinggal langsung mengubahnya dan publish lagi.

Yang jadi masalah adalah ketika tautan studi kasus kamu dibagikan secara luas padahal kontennya belum sempurna, misalnya. Ini bahkan bisa jadi bahaya jika ada grammar issues, typo, atau logika yang bolong/kurang di-stress-test.

Tips Tambahan

Jika sudah selesai mengerjakan studi kasusmu, pastikan cari orang yang menurutmu sudah lebih berpengalaman di bidangnya untuk mereview dan memberikan feedback. Bisa senior, editor, atau atau siapa saja yang mumpuni dalam memberikan komentar terhadap studi kasusmu.

Jangan ingin cepat-cepat selesai hanya karena orang lain sudah melakukannya. Pelan-pelan saja. You’ll get there :)

Jadi… Adin atau Nida nih?

Masih ingat dengan mereka?

Sebagai pengingat, Adin adalah salah satu calon UX Writer yang punya banyak pengalaman menulis sebelumnya dan tidak membawa studi kasus. Sementara itu, Nida tidak punya pengalaman UX Writing dan punya studi kasus.

Ia tahu bahwa studi kasusnya mungkin belum sempurna tapi paham betul bahwa persaingan di lapangan pasti akan ketat. Dan tidak menyiapkan apa-apa sama saja dengan tidak membawa senjata saat perang.

Akhirnya, hari pengumuman pun tiba. Nida dan Adin mendapatkan email dari perusahaan tempat mereka melamar.

Dan, sesuai dugaannya, Adin diterima sebagai UX Writer. Ia senang sekali namun pada saat yang sama juga berpikir: Nida pasti sedih sekarang.

Ia pun mengambil handphone-nya dan bertanya ke Nida: “Nid, udah dapet email belom?”

Nida langsung mengetik, dan Adin tak menyangka dengan jawaban Nida.

“Aku diterima, Din!”

Mereka berdua ternyata diterima sebagai UX Writer di perusahaan itu. Di satu sisi, perusahaan itu butuh pengalaman Adin yang sudah banyak menulis di berbagai industri. Di sisi lain, mereka juga butuh keinginan belajar yang tinggi dari Nida yang diwujudkan dalam studi kasusnya.

Semangat Nida ini lah yang pada akhirnya membawanya ke pekerjaannya itu, dan ia tidak berkecil hati jika pada akhirnya ia tidak diterima. Karena ia sudah menunjukkan keinginan kuat untuk terus belajar.

Bagi saya sendiri, studi kasus ini adalah tidak hanya ajang pamer ke calon employer tetapi juga ajang pembuktian untuk diri sendiri.

Ini adalah tantangan apakah saya mampu mengambil inisiatif dan membuat pengamatan dengan pendapat yang kuat. Tidak asal komentar atau asal bunyi, khususnya jika ketika sudah bekerja menjadi UX Writer, di mana kemampuan berkomentar atau membuat pengamatan sangat dibutuhkan.

Jadi, jika kamu saat ini adalah Nida atau Adin, buktikan ke dirimu sendiri terlebih dahulu. Baru biarkan orang lain yang menilai hasilnya.

Selamat mencoba!

--

--

Himawan Pradipta

Content designer. UX writer. Living in West Jakarta. Catch me over coffee or after a good thriller movie, and let's see what happens after.